Minggu sore sekitar pukul 17.00, tanggal 28 Oktober 2012,
hujan turun dengan deras. Suara petir terdengar bersahutan. Langit tertutup
awan hitam, membuat suasana menjadi gelap.
Sambil menunggu waktu shalat Maghrib, saya menonton film
di komputer, dengan earphone menancap di kedua telinga. Tak lupa segelas
teh manis hangat dan biskuit kelapa.
Jam menunjukkan pukul 17.30-an, saya mendengar suara
seorang perempuan dari rumah tetangga yang berada di sebelah timur. Dari kamar
saya yang berposisi di lantai-2, saya dapat mendengar dengan jelas hampir setiap
suara dari arah timur.
Saya pikir itu suara keributan antara si anak sulung
(sebut saja si Bombom) dengan kedua ayah-ibunya, yang biasa terjadi karena si Bombom
itu orangnya selalu membuat dan mencari masalah. Pada saat itu dia baru lulus
SMA. Saya tidak menghiraukannya, pasang kembali earphone ke kedua
telinga.
Saya mulai tertarik setelah suara perempuan tersebut
mengucapkan “Aa (panggilan untuk laki-laki dalam bahasa Sunda), inget sama
Allah!” Earphone dilepas dan saya mulai serius mendengarkan suara itu.
“Aa, ini lihat Al-Qur’an!” Terdengar kalau suara perempuan
itu bukan suara ibu atau adik perempuannya, tapi suara perempuan muda berusia
sekitar 15-19 tahunan. Pada keributan sebelumnya dengan kedua orangtuanya,
ketika dia pernah mencuri semua uang bayaran sekolahnya, dan pulang ke rumah
dalam keadaan setengah mabuk, kedua orangtuanya memaki Bombom habis-habisan,
terutama ayahnya. Tapi belum pernah terdengar kata “Al-Qur’an” dan “Allah”
(meskipun mereka muslim).
Saya curiga kalau suara perempuan itu adalah suara
pacarnya, karena waktu dia mencuri semua uang bayaran sekolahnya, dia mengaku
digunakan untuk kencan.
Perempuan itu berkata lagi, “Asyhadu An’la Ilaaha
Illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammada Rosulullah.”
“Astaghfirullahhaladzim, aa jangan aa!”
Dari semua ucapannya, perempuan itu seperti sedang
disiksa.
Kemudian terdengar suara-suara yang menunjukkan kalau
perempuan itu hendak lari, tapi dicegah. Terdengar suara pintu yang dicoba
didobrak, dan perabotan yang jatuh atau tersenggol.
Suara-suara tersebut semakin intens, saya mulai tidak
nyaman, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya mencoba menghampiri rumah si Bombom, tapi sudah ada
ibu saya dan tetangga saya yang satunya lagi (sebut saja Bu dan Pak Arif) yang
sedang mendengarkan juga. Bu Arif memanggil suaminya dan menghampiri rumah si
Bombom tersebut, tapi mereka tidak bisa masuk karena pintunya dikunci. Lalu
mereka menggedor-gedornya. Karena tidak kunjung dibuka, Pak Arif terpaksa
mendobrak pintunya.
Setelah pintu berhasil didobrak, seorang perempuan muda
(seperti yang sudah saya duga) keluar sambil berlari, langsung memeluk Pak Arif
dan berkata, “Tolong pak, dia akan membunuh saya!”
Ternyata benar perempuan itu adalah pacarnya. Dia mengaku
akan dibunuh oleh si Bombom. Dia dicekik, dipukul, dan ditendang. Ketika dia
berkata “Aa, ini lihat Al-Qur’an!” dia sedang berusaha menyadarkan si Bombom
yang seperti kerasukan setan, tapi si Bombom malah menangkis Al-Qur’an yang
disodorkan ke mukanya itu.
Tidak jauh dari rumah Bu dan Pak Arif, ada seorang
anggota reserse (sebut saja Pak Salim) yang kebetulan mendengarkan keributan
tersebut. Pak Salim langsung datang dan mengurusi si Bombom.
Saya dapat mendengar perkataan Pak Salim kalau perbuatan
si Bombom tadi sudah masuk dalam tahap kriminal karena terjadi penganiayaan.
Dan si Bombom juga sudah bukan termasuk di bawah umur lagi, dengan usianya yang
saat itu adalah 18 tahun.
Setelah itu saya masuk kembali ke dalam rumah untuk
melaksanakan shalat Maghrib. Saya tidak tahu kelanjutannya bagaimana, tapi hingga
saat ini, si Bombom tidak pernah dipenjara atau berurusan dengan kepolisian.
Tapi dia tetap selalu membuat dan mencari masalah. Mendengar tetangga sebelah
timur ribut sudah menjadi hal yang lumrah bagi saya.
Ini adalah nyata berdasarkan apa yang saya alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar